Pada saat sekolah dasar, saya ingat terdapat istilah yang sangat sering muncul di buku pelajaran kewarganegaraan, yaitu zoon politicon. Selain ditulis dalam buku, istilah ini pun sangat sering disebutkan dalam banyak pembicaraan di dunia sosial.
Istilah tersebut merupakan salah satu karakteristik utama manusia, manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Karakter tersebut berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri saja tanpa adanya orang lain dalam melakukan berbagai hal. Sebagai contoh yang paling sering dijumpai adalah kebergantungan seorang bayi terhadap orang tuanya. Bayi tidak mungkin dapat survive tanpa adanya peran orang tua yang memberi makan, memberi pakaian, memberi kasih sayang.
Pada kesempatan ini saya ingin menceritakan pengalaman saya dalam hidup bersosialisasi dalam masyarakat. Sekitar 4 tahun lalu yaitu pertengahan 2010, saya menyelesaikan pendidikan SMA dan meneruskan studi ke sebuah perguruan tinggi di kota Bandung dimana kota Bandung merupakan kota tempat tinggal saya sejak kecil, kota tempat saya bersekolah dari TK hingga SMA. Dengan kata lain, pada saat itu saya masuk ke perguruan tinggi dibekali dengan banyak pengetahuan mengenai situasi kota, dan teman-teman bekas sekolah TK-SMA (walaupun yang mayoritas diingat adalah teman-teman SMA).
Bukan bermaksud menyombong, SMA asal saya merupakan sekolah yang terkenal dengan mutu pendidikan baik disertai tingkat disiplin tinggi. Selama bersekolah di SMP-SMA, hampir semua siswa disibukkan dengan kegiatan akademis yang bersifat individualis seperti PR tanpa henti, ulangan yang mengalir deras. Hal tersebut menyebabkan siswa menjadi pribadi yang independen dimana mereka dapat memotivasi dirinya untuk dapat survive pada setiap tingkat. Lalu apa buruknya? Ya, itu hal yang sangat baik, namun jika terlalu independen, ini dapat menjadi bibit penyakit.
Jujur saja, pada masa SMA, saya termasuk siswa yang sulit gagal, jika ada masalah yang dianggap sulit, saya akan belajar keras hingga akhirnya berhasil memahami dan menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini menyebabkan saya merasa, “untuk apa sih belajar bareng temen, kumpul-kumpul buang waktu aja, orang sendiri juga bisa.” Nah bibit inilah yang saya sadari tumbuh dalam kepribadian saya. Ternyata bibit ini tidak henti-hentinya bertumbuh. Hingga kelas 3 SMA dimana makin banyak tugas kelompok, semua bisa tertangani dengan rapi, tugas-tugas berbobot kelompok juga bisa dilahap sendiri. Istilahnya “Kumpul-kumpul ya kalo mau main saja, ga usah deh kerja kelompok, biar gue yang kerjain.” UN pun dirasa terlalu mudah dibandingkan pelajaran sekolah. Oh iya, disini saya adalah seorang yang hobi main dota, sehingga kerjanya kalo uda santai ya main dota, jaman itu masih musim yang namanya BNET :p.
Kembali ke laptop, sifat tersebut ternyata masih terbawa hingga saya masuk ke perguruan tinggi di Bandung. Tahun pertama berjalan sangat mulus, walaupun tidak semulus SMA, di sini saya harus belajar lebih keras dan disertai kadang-kadang belajar kelompok pada saat saya merasa kurang yakin dengan kemampuan saya. Hasil tahun pertama bisa dibilang cukup prestisius, liburan tiba, yah agak bosen sih, tapi masih ada temen-temen dota jadi santai aja, bisa membuang waktu dengan bahagia namun dengan teman-teman bekas sekolah dulu. Pada tahun pertama ini, bisa dibilang saya sangat sedikit mendapat teman baru, hanya segelintir. Kok bisa??? Penyebabnya adalah karena tidak ada rasa butuh, hidup masih seneng, semua sendiri bisa.
Oh, di tengah liburan, muncul yang namanya acara MBC (Masa Bina Cinta) yaitu kaderisasi yang menjadi syarat masuk ke organisasi HME (Himpunan Mahasiswa Elektro). Wahhh bencana datang, di sana saya merasa sangat malas untuk terlibat hal-hal seperti itu, kalo boleh sih Non Him deh, buat apa punya himpunan (pikir saya saat itu). Saya malah bingung melihat mahasiswa yang berambisi, mengerjakan tugas yang diberi senior dengan sangat serius. Namun disebabkan jika saya tidak mengerjakan maka yang kena hukuman adalah 1 angkatan, maka saya terpaksa mengerjakan. Saya orangnya konsisten, kalau sudah masuk ke jalan A, saya akan bertahan di A sehingga walaupun malas saya terus hadir MBC. Berbeda dengan beberapa orang, di sana saya melihat semangat yang tadinya berapi-api mulai pudar (seperti dugaan yang telah saya buat dari awal ada acara MBC). Saya jadi berpikir, “tuh kan sama aja, semua juga males ikut ginian, pembodohan oleh senior aja.” Salah satu tugas yang bagi saya sangat berat adalah menghafal nama seangkatan !!! Ngapalin nama pahlawan aja susah apalagi ngapalin ini nama orang yang ketemu juga jarang, selama ospek saya hanya pretend that i know each other. Kalo ditanya senior uda kenal belom, saya cuma mengangguk dan harap-harap cemas jangan sampe saya yang dipanggil maju buat di test tingkat hafal 1 angkatannya. Yah beruntung saya lulus MBC, “fiuh sana-sana ga penting jangan dateng lagi.” Hingga saat itu, saya masih merasa apa sih ini MBC, kenal angkatan buat apa kalo kepribadian masing-masing aja gak tau. Padahal udah ada tuh istilah Sebelum melakukan hal besar, mulailah dulu dari hal kecil yang kalo diartiin, yah minimal hafal nama dulu dong baru kenal kepribadiannya.
Tahun kedua dimulai dan dijalani biasa saja hingga libur tahun kedua, namun ironisnya ilmu hafal angkatan saya masih payah, maju sejengkal saja. Liburan datang dan kali ini teman-teman dari SMA sudah mulai disibukkan oleh kegiatan dengan teman baru mereka sehingga saya merasa mulai kurang kerjaan. Pada tahap inilah saya mulai merasa sendiri. Akhirnya saya memutuskan mengisi libur dengan magang selama 2 bulan, solusi yang tidak terlalu buruk?…
Tahun ketiga dimulai, setelah libur lama yang diisi magang, ilmu hafal angkatan malah makin jongkok. Pada tahun ini saya mulai memiliki teman-teman dekat yang terbentuk karena selalu sekelas, seperti biasa, tahun ketiga diakhiri dengan baik. Nah tiba saatnya magang yang bersifat wajib, pada kesempatan ini saya memutuskan ikut teman-teman yang relatif sudah kenal baik ke Batam, disana saya merasakan sosialisasi yang sangat baik. suka duka dirasakan bersama. Pada momen tersebut, saya belajar sangat banyak, “Jika saja saya magang di sini sendiri, what will happen???” Ya, di sana saya merasakan gunanya teman, di kala kebosanan, menghadapi pimpinan yang seenaknya, suasana senang tetap dapat terbentuk. Kegagalan dalam mengerjakan tugas pun bisa membuahkan tawa, aneh bukan? Coba saja magang sendiri, apa jadinya?… Namun, kesadaran akan pentingnya sahabat dan teman sudah agak terlambat…
Pada semester ke 7, saya bersama 2 orang teman akan pergi ke Korea untuk melakukan program pertukaran pelajar. Di saat saya mulai merasa enjoy dengan teman-teman senagkatan, saya harus pergi ke negara lain dan berpisah dengan mereka untuk beberapa saat. Tentu program ini bukan merupakan keputusan yang salah, saya mendapat thousand or million of experiences. Tidak ada penyesalan dibalik keputusan pergi ke Korea, namun segala nya memiliki konsekuensi, yaitu saya harus lulus dengan terlambat 1 semester sehingga tidak dapat lulus bersama-sama dengan teman lainnya.Semester 7 berakhir, saya kembali ke Indonesia dan melanjutkan semester 8 di Bandung.
Semester 8 ini yang dikira akan biasa-biasa saja ternyata menjadi mimpi buruk bagi saya. Saya tidak memiliki teman di kelas!! Hampir semua kelas yang saya duduki dihuni oleh angkatan 2011 di mana kami tidak tahu 1 sama lain, hal ini menyebabkan kegiatan belajar pada semester ini sangat membosankan. Teman-teman lain sudah sibuk dengan tugas akhir sehingga sangat sulit untuk diajak main. Inilah saat dimana saya mulai sadar, walaupun dulu saya mengaggap tidak perlu ada orang lain dalam hidup ini, namun secara tidak sadar mengenal orang di sekitar sudah membantu, ketika dosen tidak dapat mengajar dengan cara seharusnya, saya dapat bercanda dengan teman sekelas dengan mengata-ngatai dosen tersebut atau sejenisnya, namun sekarang?? kelas yang membosankan hanya semakin membosankan. Begitu ada teman yang dapat diajak main, rasanya seperti disuntik obat penyemangat dimana rasanya sangat senang, walaupun jarak dari rumah ke tempat main jauh, tidak masalah demi mencari refreshing. Di kala inilah saya mulai sadar apa alasan orang-orang mengikuti organisasi dan bersosialisasi di dalamnya, yaitu mencari kesenangan. Berinteraksi itu menyenangkan, jangan hanya merasa nyaman dengan kondisi masa lalu, ketika tiba di lingkungan baru, beradaptasilah dengan cepat terutama dengan cara mengenal orang-orang disekitar kita dan menjadikan mereka teman. Mungkin ada yang mengira bahwa segala sesuatu cukup dikerjakan seorang diri, yang membedakan antara kerja sendiri dan kerja bersama-sama adalah proses nya. Mungkin hasilnya akan sama saja bahkan mengerjakan sendiri akdang lebih cepat, namun pada saat kita mengerjakan bersama, proses pengerjaan akan lebih menyenangkan, dan mungkin akan ada kegiatan lain yang menghbur setelah nya. Manusia adalah makhluk sosial.
Terima kasih teman-teman elektro 2010, sukes selalu.
Leave a Reply